Mengelola sampah menjadi kompos dan pupuk organik kini merupakan salah satu strategi untuk mendatangkan profit di masa pandemi Covid-19, seperti yang dilakukan Kelompok Pemelihara dan Pemanfaat (KPP) di Desa Watas Marga, Kabupaten Rejang Lebong, Propinsi Bengkulu.
Proses pengolahan sampah dan limbah kopi menjadi kompos |
Sampah merupakan aspek terbesar yang menyumbang permasalahan kumuh di Desa Watas Marga sebelum tahun 2019 lalu, selain pada aspek drainase, jalan, dan air minum.
Untuk menangani permasalahan kumuh, Desa Watas Marga mendapatkan intervensi dana dari Program KOTAKU melalui Bantuan Pemerintah untuk Masyarakat (BPM) di tahun 2019. Adanya Dana Program KOTAKU tahun 2019 sangat berarti bagi mereka. Karena dengan tersedianya akses dan prasarana sarana pendukung di tempat itu mobilisasi dan aktivitas masyarakat semakin baik. Selain itu, mereka juga terhindar dari dampak negatif menumpuknya sampah dan limbah dengan dbangunnya fasilitas TPS3R.
Agar asset yang telah terbangun dapat termanfaatkan dalam waktu lama, Kelompok pemelihara difungsikan. Ada unit tersendiri yang dinaungi KPP Desa Watas Marga, yaitu TPS3R yang diamanahkan untuk mengawal keberfungsian bangunan.
Sayangnya pandemi Covid melanda sejak tahun 2020 lalu, sehingga hampir semua aktivitas masyarakat sangat terbatas di Desa Watas Marga. Bisa dikatakan dampak pandemi Covid 19 sangat terasa, khususnya pada pendapatan dan perekonomian.
Namun demikian KPP TPS3R berupaya bangkit dan tidak terpuruk lebih jauh. Apalagi sampah bila tidak dikelola justru akan menimbulkan penyakit, sehingga mau tidak mau aktivitas pengangkutan sampah tetap harus berjalan.
Membuat Kompos dan Pupuk Organik Dari Limbah Kopi di TPS3R
Bangunan TPS 3R Desa Watas Marga dibangun dengan Dana Program KOTAKU |
Pengelolaan sampah di TPS3R oleh KPP merupakan peluang besar bagi KPP untuk mendapatkan profit ditengah situasi tidak menentunya harga barang kebutuhan sejak diberlakukannya pembatasan aktivitas selama adanya pandemi.
Ide kewirausahaan mulai dikembangkan sebagai strategi mendatangkan income dengan mengembangkan pengelolaan TPS3R menjadi sentra pembuatan kompos dan pupuk organik. Ide dan strategi pengembangan usaha ini dimunculkan oleh Jumadi, warga Desa Watas Marga yang saat ini didapuk sebagai Ketua KPP TPS3R. Jumadi sendiri beberapa kali mengikuti pelatihan kewirausahaan yang diadakan di wilayah Kabupaten Rejang Lebong hingga ke luar provinsi Bengkulu.
Bahan Baku Untuk Membuat Kompos dan Pupuk Organik
“Bahan baku utama pembuatan kompos yaitu dari limbah kopi dan limbah organik lainnya milik warga. KPP berkeliling mengumpulkan sampah dan limbah yang sering kali menumpuk di pekarangan rumah warga.” kata Jumadi mengenai pengelolaan sampah menjadi kompos dan pupuk organik yang dilakukan di TPS3R.
Apakah cara pembuatan kompos dan pupuk organik yang dilakukan KPP punya metode khusus ? “Sederhana saja, hanya dengan memfermentasi sampah menggunakan campuran EM-4 dan dibiarkan beberapa hari, bakteri pengurai akan bekerja menguraikan sampah itu”jelasnya.
Baca Juga : Solusi Alternatif Permasalahan Sampah
Modal Awal Produksi Kompos Dari Limbah Kopi dan Sampah Organik
Modal awal pembuatan kompos dan pupuk dari sampah organik yang dikeluarkan oleh KPP, menurut Jumadi lebih kurang Rp 750.000,-. "Modal awalnya kami pinjam"katanya menjelaskan. Ongkos produksi yang dikeluarkan antara lain untuk membeli bahan pengurai seperti EM-4, karung kemasan, dan upah tenaga kerja" jelasnya lagi.
Hingga kini, KPP TPS3R telah memproduksi kompos dengan kemasan serta menjualnya seharga Rp 25.000 per karung ukuran 40kg. Sejak bulan Mei 2021 lalu kompos dan pupuk organik yang telah diproduksi lebih dari 500 karung kompos.
Dalam mengolah sampah menjadi kompos tersebut KPP menggunakan 4 orang tenaga kerja aktif yang semuanya warga Watas Marga.
Manfaat dan Keuntungan Pembuatan Kompos Dari Sampah Organik
“Adanya pengembangan kewirausahaan dari bangunan TPS3R ini memberikan banyak manfaat, khususnya di masa pandemic Covid saat ini. Selain masyarakat terhindar dari tumpukan sampah yang menjadi sarang penyakit, ada pula penyerapan tenaga kerja. Dan, warga juga mendapatkan pupuk organic tanpa harus keluar biaya beli ke pasar. Plus, harganya cukup terjangkau bagi masyarakat kami yang umumnya bertani dan berkebun.”terang Jumadi.
Kini KPP TPS3R sedang membangun komunikasi agar dapat berkolaborasi dengan sejumlah pihak, salah satunya yaitu Bank Indonesia. Mengingat sampah tidak akan pernah habis, tentu saja ini peluang yang sangat menggiurkan. “Selama ada niat, mau bersama-sama bersusah payah, selalu ada ruang dan peluang untuk mengembangkan ide ini.
Kendala Produksi dan Pemasaran Kompos Limbah Kopi dan Sampah Organik
Dalam mengelola TPS3R dan mengolah sampah organik menjadi kompos ini ada sejumlah kendala yang dihadapi KPP khususnya pada pemasarannya.
"Cita-cita besar kami adalah agar produksi kompos melalui pengolahan dari limbah kopi dan sampah organik ini terpasarkan secara luas, dan bisa menjadi brand kompos utamanya di Kabupaten Rejang Lebong. Kalau memungkinkan ke pasar yang lebih luas, bahkan menjangkau seluruh Sumatera dan tempat lainnya di Indonesia"tutur Jumadi.
"Beberapa kendala yang saat ini menghambat pemasaran kompos ke pasar yang lebih luas antara lain komposisi bahan kompos yang belum diuji, label merk belum ada, sertifikasi produk belum dimiliki, dan hak paten belum didaftarkan."kata Jumadi menambahkan.
Hingga saat ini pemasaran dan penjualan kompos dari pengolahan sampah lebih ke masyarakat lokal. Meskipun demikian, produk kompos yang dihasilkan oleh KPP mendapatkan atensi dari masyarakat Watas Marga. Ini karena warga Desa Watas Marga yang umumnya bertani dan berkebun tidak lagi harus jauh-jauh membeli pupuk dan kompos di pusat kota. Apalagi harga kompos dan pupuk kini tergolong mahal, dan warga pun harus mengeluarkan ongkos transportasi.
Sistem Bagi Hasil Keuntungan Pembuatan Kompos dan Pupuk Organik
Agar kinerja KPP terarah dan tetap terorganisir, pengelolaan sampah di TPS3R juga sudah diatur, misalnya jadwal pengumpulan sampah, dan pengelolaan profitnya.
“Seluruh aktivitas pengelolaan selalu dikomunikasikan kepada warga dan pemerintah setempat. Selain itu telah disepakati 50% untuk tambahan modal usaha dan 50% untuk pengelola (KPP) dengan rincian 30% untuk pengurus, 10% untuk dana sosial dan pendidikan, serta 10% kas desa.”kata Jumadi.
Dengan KPP melakukan pengelolaan sampah dan mengolahnya menjadi kompos, potensi mendapatkan cuan di masa pandemi sangat besar. KPP TPS3R sendiri berharap agar tetap mendapatkan pendampingan dari Program KOTAKU serta dukungan dari pihak lain, utamanya dari Pemerintah serta swasta dalam hal legalisasi produk dan bantuan pemasaran.